PRESIDETIAL THRESHOLD
Konstitusi merupakan suatu hukum
tertinggi dalam sebuah negara (supreme law of the land)[1].
Secara teoritis suatu Undang-Undang Dasar merupakan suatu kontrak sosial dari
rakyat pada suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi harus
dijunjung tinggi sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah
memiliki kontrak sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila
diperiodisasikan dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni
semenjak digunakannya Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950, dan berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli.
Negara
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD
1945, bukanlah berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat). Jadi jelas bahwa
cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945
bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didabambambakan
bukanlah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan, yang dapat
menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian
bukanlah hukum yang adil (just law), tapi hukum yang adil adalah hukum yang
didasarkan pada keadilan bagi rakyat.
Negara
indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, Bagi negara
demokrasi, pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam
tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu disini
termasuk juga pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Kalau kita lihat
dalam sejarah sebelum reformasi presiden dan wakil presiden itu di pilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tapi setelah runtuhnya rezim orde baru pemiihan presiden
dan wakil presiden itu di pilih secara langsung oleh rakyat. Tepat pada tahun
2004 pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu di pillih langsung oleh rakyat.
Tapi
ada yang sedikit aneh pada waktu itu dimana untuk mengajukkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden ada syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik sesuai dengan
Undang-Undang No 23 tahunn 2004 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam pasal 5 ayat 4 Undang-Undang
tersebut berbunyi bahwa “Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR
atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu
anggota DPR”. Hal ini banyak yang mengatakan kalau pasal ini bertentangan
dengan pasal 6A aayat 2 UUD NRI 1945. Pasal 6A ayat 2 tersebut berbunyi “
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemiilihan
umum”.
Tapi
walaupun banyak yang mengatakan kalau pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD NRI
1945, namun Undang-Undang tersebut tetap menjadi landasan untuk melaksanakan
pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sesudah pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden pada tahun 2004, Undang-Undang tentang pemilihan presiden dan wakil
Presiden di ganti lagi dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Dalam
Undang-Undang yang baru itu ada sedikit perubahan dari Undang-Undang yang lama,
salah satunya adalah tentang ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam pasal 9 dituliskan bahwa “ pasangan Calon diusulkan oleh Partai
Politik atau gabungan partai politikpeerta pemilu yang memenuhi persyaratan
kursi paling sedikiit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasilnal dalam pemilu
anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Kalau
di lihat dari Undang-Undang yang baru tersebut ada peningkatan persentase untuk
mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Mengenai ambang batas tersebut
ada beberapa orang yang mengajukan Judicial Reviuw. Terakhir Prof. Yusril Ihza
Mahendra yang mengajukan Judicial Reviuw pasal 9 UU NO 42 Tahun 2008 Terhadaap
pasal 6A ayat 2 UD NRI 1945.Dalam gugatannya Yusril ingin MK menafsirkan pasal 6A itu, dan
menghapus ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau yang
seringkali kita kenal itu dengan istilah Presidential Threshold.
Tapi
pada akhirnya permohonan yusril di tolak dan memutuskan Presidential Threshold
terseebut diserahkan kepada pembuat Undang-Undang yaitu DPR. Inilah yang penulis
pikir, apakah 2019 akan ada lagi presidential Threshold ataukah tidak. Dari
permasalahan di atas, ada yang setuju dengan Presidential Threshold ada juga
yang tidak, maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang Presidential
Threshold ini.
PERMASALAHAN
Sebenarnya kata Presidential
Threshold itu sendiri penulis pikir tidak mempunyai dasar hukum, karena kalau
kita lihat dalam UUD NRI 1945 tidak ditemukan istilah Presidential Threshold.
Tidak hanya dalam UUD NRI 1945, kalau kita lihat dalam Undang-Undang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2008 juga tidak ada istilah Presidential
Threshold. Lalu pertanyaannya adalah kenapa kemudian kita banyak sekali
menggunakan istilah Presidential Threshold ini. Kalau kita lihat dalam
Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2008 yang ada
dan yang tepat kita gunakan adalah istilah “ambang batas pengajuan calon
Presiden dan Wakil Presiden”. Jadi jelas kalau istilah Presidential Threshold
tidak mempunyai dasar hukum.
Penyelenggaraan pemilu yang
dilakukan secara bersamaan (serentak) antara pemilu presiden/wakil presiden
dengan DPR-DPD, menimbulkan persoalan baru dalam pola pencalonan, apakah setiap
partai politik peserta pemilu secara otomatis berhak mengajukan calon
presiden/wakil presiden ataukah hanya partai politik tertentu, yang memenuhi ambang
batas presiden (presidential threshold). Perlukah persyaratan awal pencalonan oleh
partai politik itu dibatasi dengan tetap memberlakukan ambang batas presiden
(presidential threshold). Kalau ada pembatasan, bagaimana dengan hak konstitusional
partai-partai yang baru didirikan untuk turut serta dalam proses pencalonan
presiden/wakil presiden.
Proses pencalonan tersebut
sebenarnya memiliki hubungan dengan tujuan awal pemilu serentak. Hubungan itu
antara lain adanya keinginan agar terjadi koalisi permanen sebelum pemilu
diselenggarakan, khususnya bagi partai-partai yang tidak memiliki calon
presiden/wakil presiden. Dari pengalaman beberapa negara yang menyelenggarakan
pemilu serentak, proses koalisi memang terjadi sebelum penyelenggaraan pemilu,
bahkan pada beberapa negara terjadi blok partai sebagai konsekuensi dari
peluang masing-masing kandidat calon presiden/wakil presiden untuk menang.
Sebagai konsekuensi dari kebutuhan
untuk mendorong kualitas proses pencalonan dan lahirnya calon-calon
presiden/wakil presiden yang berkualitas dan terjadinya koalisi permanen
sebelum pemilu diselenggarakan, pengaturan mengenai koalisi putaran pertama dan
putaran kedua perlu ditentukan secara lebih tegas dan mengikat partai-partai
politik. Untuk kebutuhan itu, idealnya proses pencalonan memperhatikan
integritas, elektabilitas dan kualitas calon serta mendorong lahirnya koalisi permanen
sebelum penyelenggaraan pemilu. Tetapi dalam konteks hak-hak konstitusional
partai-partai politik seperti disebut pada UUD 1945 serta konsekuensi
pemberlakukan pemilu serentak, maka proses pencalonan presiden/wakil presiden
tidak didasarkan pada perolehan suara partai pemilu sebelumnya. Artinya setiap
partai politik yang telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilu berhak mengajukan
calon presiden/wakil presiden. Konsekuensinya calon presiden/wakil presiden dapat
sama jumlahnya dengan jumlah peserta pemilu.
Ada hal menarik dalam putusan MK
Nomor 14/PUU-IX/2013 tentang pemilihan umum serentak, dalam putusannya Mahkamah
Konstitusi tidak menyampaikan secara jelas apakah Presidential Threshold itu di
hapuskan atau tidak. Kalaupun 2019 itu pemilu serentak, tidak menjamin juga
kalau Presidential Threshold itu dihapuskan dalam Undang-Undang selanjutnya.
Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut Prof. Margarito Kamis masih
ada celah bagi partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap berlakunya
Presidential Threshold ini untuk dimasukkan lagi ke dalam Undang-Undang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Kelebihan
dan Kekurangan Presidential Threshold
Walaupun banyak yang mengatakan
bahwa Presidential Threshold ini harus dihapuskan, tapi bukan berarti sistim
Presidential Threshold ini tidak mempunyai kelebihan sama sekali. Dan karena
ini sudah di terapkan di Indonesia bukan berarti pula tidak mempunyai kelemahan
pula. Berikut ini ada beberapa Kelebihan dan Kekurangan Presidential Threshold
itu sendiri.
Kelebihan Presidential
Threshold
1. Di indonesia
ini ada banyak partai politik, tapi tidak semua partai politik yang ada itu
lolos sebagai partai peserta pemilu. Dikarenakan sebelum di umumkan partai mana
saja yang lolos dilakukan verifikasi partai terlebih dahulu oleh KPU. Dari
Partai yang lolos tersebut tentu ingin mencalonkan presiden dari partai
tersebut. Dengan adanya Presidential
Threshold ini bisa membuat masyarakat tidak kebingungan karena banyaknya calon
presiden yang harus mereka pilih.
2. Presidential
Threshold ini memaksa partai yang tidak dapat mencapai ambang batas minimal
untuk berkoalisi dengan partai lain, sehingga calon presiden yang di usung oleh
koalisi partai tersebut tidak mudah diganggu oleh kekuatan parlemen yang
sewaktu-waktu bisa saja menghambat kinerja Presiden dan Wakil Presiden.
Kelemahan
Presidential Threshold
1.
Akan terjadi koalisi pragmatis.
Koalisi yang dibangun oleh partai
politik seharusnya dibangun atas dasar kesamaan pandangan untuk bangsa
indonesia ke depan agar jauh lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Tapi kalau Presidential
Threshold dilakukan bukan lagi persamaan pandangan atau ideologi yang di
kedepankan, melainkan lebih banyak politik pragmatis yang akan terjadi. Hal ini
dikarenakan partai politik yang belum cukup minimal ambang batas untuk
mengusung calon presiden nya ia akan terus untuk mencari dukungan kepada partai
lain. Disinalah nanti yang ditakutkan akan terjadi politik pragmatis antar
partai politik.
2.
Presidential Threshold akan menguntungkan
partai-partai besar.
Refli harun mengatakan kalau Presidential Threshold itu merupakan
konspirasi partai-partai besar untuk menghilangkan calon-calon alternatif.
Partai besar akan punya kesempatan yang
lebih besar untuk bisa mencalonkan Presiden. Padahal hak untuk mencalonkan
sebagai Presiden adalah hak seluruh masyarakat. Tapi karena ada ambang batas
untuk mengajukan calon presiden oleh partai politik itu membuat hak mereka di
rampas oleh Undang-Undang.
Sebenarnya dasar pemikiran ini hanya
dalam teori nya saja, tapi kalau dalam praktek dilapangan tidak juga menjamin
partai besar yang mencalonkan Presiden akan menang. Sebagai contoh di tahun
2004 untuk pertama kali sistem pilpres langsung dilaunching dan dilaksanakan
dengan terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla yang
diusung Partai Demokrat, yang”hanya” memperoleh 8% suara dalam pemilihan umum
legislatif dan mengalahkan Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Partai
Golkar, dengan 19% suara parpol hasil pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
kala itu.
3.
Presidential Threshold yang ada tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945
sebenarnya sudah di jelaskan secara jelas dalam pasal 6A ayat 2 kalau “pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan”.
Jelaslah sudah kalau koalisi partai-partai itu dilaksanakan sebelum pemilu itu
dilaksanakan. Pada dasarnya konstitusi sudah melihat jauh kedepan, agar koalisi
yang dibangun itu adalah koalisi ideologi atau koalisi bagaimana pandangan
indonesia kedepan agar bisa lebih baik dari tahun sebelumnya.
Terlepas
dari kelebihan dan kelemahan dalam sistem Presidential Threshold diatas, pada
dasarnya konstitusi sudah mengatur untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
selain dari adanya ambang batas seperti yang di atur dalam pasal 9 UU Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden yang sudah ada dan biasa disebut dengan
istilah Presidetial Threshold. Dalam konstitusi Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden calon harus mendapatkan 50% lebih suara nasional dan tersebar 1/3
provinsi di Indonesia. Apabila belum mencapai batas suara itu, maka dua suara
terbanyak dilakukan pemilihan ulang dan suara terbanyak akan memenangi Pemilu
tersebut. Angka tersebut tidak mudah mendapatkanya, oleh sebab itu pemilu ulang
bisa saja terjadi pada dua kontestan dengan suara tertinggi. Ketentuan diatas
menafsirkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden setidaknya didukung 50%
lebih rakyat pemilih.
Dari putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilihan umum serentak
sebenarnya ada hal menarik dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu
Mahkamah Konstitusi menyerahkan untuk Presidential Threshold ini kepada pembuat
Undang-Undang yaitu DPR. Kalau secara logika apabila sudah di berlakukan Pemilu
Serentak maka secara otomatis yang namanya Presidential Threshold akan hapus.
Tapi kita tidak bisa juga mengatakan Presidential Threshold untuk Pemilu 2019
nanti itu tidak digunakan, karena dalam putusan MK tidak disampaikan itu
bertentangan dengan UUD NRI 1945 melainkan di serahkan kepada pembentuk
Undang-Undang yaitu DPR. Di DPR pun mengenai
Presidential Threshold ini sudah pernah di bahas, hasilnya banyak
partai-partai besar yang menginginkan Presidential Threshold itu tetap ada. Sementara
untuk yang setuju Presidential Threshold ini dihapus adalah partai-partai kecil
saja.
Wajar saja
kalau pembahasan mengenai Presidential Threshold ini tidak selesai di DPR.
Karena memang ada banyak kepentingan dalam Presidential Threshold, terutama
kepentingan untuk partai-partai besar.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Presidential Threshold adalah sebuah sistem dalam
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, tentu ada kelemahan dan kelebihan.
Hukum tidak hanya untuk yang berlaku sekarang, tapi juga berpikir untuk masa
yang akan datang. Jadi sudah sewajarnya kalau kelemahan dalam sistem itu di perbaiki.
Tapi kalau ia bertentangan dengan konstitusi maka sudah seharusnya juga itu di
hapuskan saja. Karena dalam hal ini berlaku asas hukum “lex superior derogat
lex inferior”.
2.
Saran
1.
Presidential Threshold dihapuskan saja, agar hak
partai politik untuk mencalonkan kadernya menjadi presiden bisa terlaksana.
Karena itu juga sudah diatur dalam pasal 6A ayat 2
2.
Pembuat Undang-Undang yaitu DPR janganlah berpikir
untuk kepentingan politik semata. Dalam membuat Undang-Undang harus juga
dilihat Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia. Karena
negara kita adalah negara hukum bukan negara politik. Boleh berpolitik asalkan
sesuai dengan aturan yang ada.
[1] Peranan
mahkamah konstitusi dalam membangun kesadaran berkonstitusi, jurnal konstitusi pusat studi hukum tata
negara universitas Indonesia, Volume 1, Nomor 1, November 2010, h92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar