SELAMAT DATANG

Minggu, 10 April 2016

Presidential Threshold

PRESIDETIAL THRESHOLD
Konstitusi merupakan suatu hukum tertinggi dalam sebuah negara (supreme law of the land)[1]. Secara teoritis suatu Undang-Undang Dasar merupakan suatu kontrak sosial dari rakyat pada suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi harus dijunjung tinggi sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah memiliki kontrak sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila diperiodisasikan dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, dan berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli.
            Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bukanlah berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat). Jadi jelas bahwa cita-cita Negara hukum (rule of  law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didabambambakan bukanlah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan, yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law), tapi hukum yang adil adalah hukum yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat.
            Negara indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, Bagi negara demokrasi, pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu disini termasuk juga pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Kalau kita lihat dalam sejarah sebelum reformasi presiden dan wakil presiden itu di pilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tapi setelah  runtuhnya rezim orde baru pemiihan presiden dan wakil presiden itu di pilih secara langsung oleh rakyat. Tepat pada tahun 2004 pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu di pillih langsung oleh rakyat.
            Tapi ada yang sedikit aneh pada waktu itu dimana untuk  mengajukkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ada syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik sesuai dengan Undang-Undang No 23 tahunn 2004 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.  Dalam pasal 5 ayat 4 Undang-Undang tersebut berbunyi bahwa “Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR”. Hal ini banyak yang mengatakan kalau pasal ini bertentangan dengan pasal 6A aayat 2 UUD NRI 1945. Pasal 6A ayat 2 tersebut berbunyi “ pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemiilihan umum”.
            Tapi walaupun banyak yang mengatakan kalau pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945, namun Undang-Undang tersebut tetap menjadi landasan untuk melaksanakan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sesudah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004, Undang-Undang tentang pemilihan presiden dan wakil Presiden di ganti lagi dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Dalam Undang-Undang yang baru itu ada sedikit perubahan dari Undang-Undang yang lama, salah satunya adalah tentang ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pasal 9 dituliskan bahwa “ pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politikpeerta pemilu yang memenuhi persyaratan kursi paling sedikiit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasilnal dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
            Kalau di lihat dari Undang-Undang yang baru tersebut ada peningkatan persentase untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Mengenai ambang batas tersebut ada beberapa orang yang mengajukan Judicial Reviuw. Terakhir Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan Judicial Reviuw pasal 9 UU NO 42 Tahun 2008 Terhadaap pasal 6A ayat 2 UD NRI 1945.Dalam gugatannya Yusril  ingin MK menafsirkan pasal 6A itu, dan menghapus ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau yang seringkali kita kenal itu dengan istilah Presidential Threshold.
            Tapi pada akhirnya permohonan yusril di tolak dan memutuskan Presidential Threshold terseebut diserahkan kepada pembuat Undang-Undang yaitu DPR. Inilah yang penulis pikir, apakah 2019 akan ada lagi presidential Threshold ataukah tidak. Dari permasalahan di atas, ada yang setuju dengan Presidential Threshold ada juga yang tidak, maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang Presidential Threshold ini.







PERMASALAHAN
Sebenarnya kata Presidential Threshold itu sendiri penulis pikir tidak mempunyai dasar hukum, karena kalau kita lihat dalam UUD NRI 1945 tidak ditemukan istilah Presidential Threshold. Tidak hanya dalam UUD NRI 1945, kalau kita lihat dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2008 juga tidak ada istilah Presidential Threshold. Lalu pertanyaannya adalah kenapa kemudian kita banyak sekali menggunakan istilah Presidential Threshold ini. Kalau kita lihat dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2008 yang ada dan yang tepat kita gunakan adalah istilah “ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden”. Jadi jelas kalau istilah Presidential Threshold tidak mempunyai dasar hukum.
Penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara bersamaan (serentak) antara pemilu presiden/wakil presiden dengan DPR-DPD, menimbulkan persoalan baru dalam pola pencalonan, apakah setiap partai politik peserta pemilu secara otomatis berhak mengajukan calon presiden/wakil presiden ataukah hanya partai politik tertentu, yang memenuhi ambang batas presiden (presidential threshold). Perlukah persyaratan awal pencalonan oleh partai politik itu dibatasi dengan tetap memberlakukan ambang batas presiden (presidential threshold). Kalau ada pembatasan, bagaimana dengan hak konstitusional partai-partai yang baru didirikan untuk turut serta dalam proses pencalonan presiden/wakil presiden.
Proses pencalonan tersebut sebenarnya memiliki hubungan dengan tujuan awal pemilu serentak. Hubungan itu antara lain adanya keinginan agar terjadi koalisi permanen sebelum pemilu diselenggarakan, khususnya bagi partai-partai yang tidak memiliki calon presiden/wakil presiden. Dari pengalaman beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu serentak, proses koalisi memang terjadi sebelum penyelenggaraan pemilu, bahkan pada beberapa negara terjadi blok partai sebagai konsekuensi dari peluang masing-masing kandidat calon presiden/wakil presiden untuk menang.
Sebagai konsekuensi dari kebutuhan untuk mendorong kualitas proses pencalonan dan lahirnya calon-calon presiden/wakil presiden yang berkualitas dan terjadinya koalisi permanen sebelum pemilu diselenggarakan, pengaturan mengenai koalisi putaran pertama dan putaran kedua perlu ditentukan secara lebih tegas dan mengikat partai-partai politik. Untuk kebutuhan itu, idealnya proses pencalonan memperhatikan integritas, elektabilitas dan kualitas calon serta mendorong lahirnya koalisi permanen sebelum penyelenggaraan pemilu. Tetapi dalam konteks hak-hak konstitusional partai-partai politik seperti disebut pada UUD 1945 serta konsekuensi pemberlakukan pemilu serentak, maka proses pencalonan presiden/wakil presiden tidak didasarkan pada perolehan suara partai pemilu sebelumnya. Artinya setiap partai politik yang telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden/wakil presiden. Konsekuensinya calon presiden/wakil presiden dapat sama jumlahnya dengan jumlah peserta pemilu.
Ada hal menarik dalam putusan MK Nomor 14/PUU-IX/2013 tentang pemilihan umum serentak, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi tidak menyampaikan secara jelas apakah Presidential Threshold itu di hapuskan atau tidak. Kalaupun 2019 itu pemilu serentak, tidak menjamin juga kalau Presidential Threshold itu dihapuskan dalam Undang-Undang selanjutnya. Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut Prof. Margarito Kamis masih ada celah bagi partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap berlakunya Presidential Threshold ini untuk dimasukkan lagi ke dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Kelebihan dan Kekurangan Presidential Threshold
Walaupun banyak yang mengatakan bahwa Presidential Threshold ini harus dihapuskan, tapi bukan berarti sistim Presidential Threshold ini tidak mempunyai kelebihan sama sekali. Dan karena ini sudah di terapkan di Indonesia bukan berarti pula tidak mempunyai kelemahan pula. Berikut ini ada beberapa Kelebihan dan Kekurangan Presidential Threshold itu sendiri.
Kelebihan Presidential Threshold
1.      Di indonesia ini ada banyak partai politik, tapi tidak semua partai politik yang ada itu lolos sebagai partai peserta pemilu. Dikarenakan sebelum di umumkan partai mana saja yang lolos dilakukan verifikasi partai terlebih dahulu oleh KPU. Dari Partai yang lolos tersebut tentu ingin mencalonkan presiden dari partai tersebut.  Dengan adanya Presidential Threshold ini bisa membuat masyarakat tidak kebingungan karena banyaknya calon presiden yang harus mereka pilih.
2.      Presidential Threshold ini memaksa partai yang tidak dapat mencapai ambang batas minimal untuk berkoalisi dengan partai lain, sehingga calon presiden yang di usung oleh koalisi partai tersebut tidak mudah diganggu oleh kekuatan parlemen yang sewaktu-waktu bisa saja menghambat kinerja Presiden dan Wakil Presiden.

Kelemahan Presidential Threshold
1.      Akan terjadi koalisi pragmatis.
Koalisi yang dibangun oleh partai politik seharusnya dibangun atas dasar kesamaan pandangan untuk bangsa indonesia ke depan agar jauh lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Tapi kalau Presidential Threshold dilakukan bukan lagi persamaan pandangan atau ideologi yang di kedepankan, melainkan lebih banyak politik pragmatis yang akan terjadi. Hal ini dikarenakan partai politik yang belum cukup minimal ambang batas untuk mengusung calon presiden nya ia akan terus untuk mencari dukungan kepada partai lain. Disinalah nanti yang ditakutkan akan terjadi politik pragmatis antar partai politik.
2.      Presidential Threshold akan menguntungkan partai-partai besar.
Refli harun mengatakan kalau Presidential Threshold itu merupakan konspirasi partai-partai besar untuk menghilangkan calon-calon alternatif. Partai besar akan  punya kesempatan yang lebih besar untuk bisa mencalonkan Presiden. Padahal hak untuk mencalonkan sebagai Presiden adalah hak seluruh masyarakat. Tapi karena ada ambang batas untuk mengajukan calon presiden oleh partai politik itu membuat hak mereka di rampas oleh Undang-Undang.
Sebenarnya  dasar pemikiran ini hanya dalam teori nya saja, tapi kalau dalam praktek dilapangan tidak juga menjamin partai besar yang mencalonkan Presiden akan menang. Sebagai contoh di tahun 2004 untuk pertama kali sistem pilpres langsung dilaunching dan dilaksanakan dengan terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla yang diusung Partai Demokrat, yang”hanya” memperoleh 8% suara dalam pemilihan umum legislatif dan mengalahkan Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Partai Golkar, dengan 19% suara parpol hasil pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kala itu.
3.      Presidential Threshold yang ada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebenarnya sudah di jelaskan secara jelas dalam pasal 6A ayat 2 kalau “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan”. Jelaslah sudah kalau koalisi partai-partai itu dilaksanakan sebelum pemilu itu dilaksanakan. Pada dasarnya konstitusi sudah melihat jauh kedepan, agar koalisi yang dibangun itu adalah koalisi ideologi atau koalisi bagaimana pandangan indonesia kedepan agar bisa lebih baik dari tahun sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan dalam sistem Presidential Threshold diatas, pada dasarnya konstitusi sudah mengatur untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selain dari adanya ambang batas seperti yang di atur dalam pasal 9 UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang sudah ada dan biasa disebut dengan istilah Presidetial Threshold. Dalam konstitusi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden calon harus mendapatkan 50% lebih suara nasional dan tersebar 1/3 provinsi di Indonesia. Apabila belum mencapai batas suara itu, maka dua suara terbanyak dilakukan pemilihan ulang dan suara terbanyak akan memenangi Pemilu tersebut. Angka tersebut tidak mudah mendapatkanya, oleh sebab itu pemilu ulang bisa saja terjadi pada dua kontestan dengan suara tertinggi. Ketentuan diatas menafsirkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden setidaknya didukung 50% lebih rakyat pemilih.
Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilihan umum serentak sebenarnya ada hal menarik dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi menyerahkan untuk Presidential Threshold ini kepada pembuat Undang-Undang yaitu DPR. Kalau secara logika apabila sudah di berlakukan Pemilu Serentak maka secara otomatis yang namanya Presidential Threshold akan hapus. Tapi kita tidak bisa juga mengatakan Presidential Threshold untuk Pemilu 2019 nanti itu tidak digunakan, karena dalam putusan MK tidak disampaikan itu bertentangan dengan UUD NRI 1945 melainkan di serahkan kepada pembentuk Undang-Undang yaitu DPR. Di DPR pun mengenai  Presidential Threshold ini sudah pernah di bahas, hasilnya banyak partai-partai besar yang menginginkan Presidential Threshold itu tetap ada. Sementara untuk yang setuju Presidential Threshold ini dihapus adalah partai-partai kecil saja.
Wajar saja kalau pembahasan mengenai Presidential Threshold ini tidak selesai di DPR. Karena memang ada banyak kepentingan dalam Presidential Threshold, terutama kepentingan untuk partai-partai besar.








PENUTUP
Kesimpulan
1.      Presidential Threshold adalah sebuah sistem dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, tentu ada kelemahan dan kelebihan. Hukum tidak hanya untuk yang berlaku sekarang, tapi juga berpikir untuk masa yang akan datang. Jadi sudah sewajarnya kalau kelemahan dalam sistem itu di perbaiki. Tapi kalau ia bertentangan dengan konstitusi maka sudah seharusnya juga itu di hapuskan saja. Karena dalam hal ini berlaku asas hukum “lex superior derogat lex inferior”.
2.       
Saran
1.      Presidential Threshold dihapuskan saja, agar hak partai politik untuk mencalonkan kadernya menjadi presiden bisa terlaksana. Karena itu juga sudah diatur dalam pasal 6A ayat 2
2.      Pembuat Undang-Undang yaitu DPR janganlah berpikir untuk kepentingan politik semata. Dalam membuat Undang-Undang harus juga dilihat Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia. Karena negara kita adalah negara hukum bukan negara politik. Boleh berpolitik asalkan sesuai dengan aturan yang ada.



           




[1] Peranan mahkamah konstitusi dalam membangun kesadaran berkonstitusi, jurnal konstitusi pusat studi hukum tata negara universitas Indonesia, Volume 1, Nomor 1, November 2010, h92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar