SELAMAT DATANG

Minggu, 10 April 2016

PENGHAPUSAN LELANG JABATAN

PENGHAPUSAN LELANG JABATAN
Negara merupakan kesatuan organisasi jabatan-jabatan (ambtenorganisatie) yang menjalankan fungsinya berdasarkan tataran organ yang disusun sedemikian sistematisnya agar mampu mencapai tujuan negara secara kolektif dan berkesinambungan. Pencapaian tujuan tersebut diwujudkan melalui tindakan pemerintah yang merupakan penggerak nyata dari negara dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya
Tidak bisa dipungkiri, semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini juga mendorong semakin berkembangnya tindakan pemerintah yang mampu mewadahi berbagai kompleksitas tersebut. Hal inilah yang diamini oleh Satjipto Rahardjo yang mengungkapkan bahwa hukum tidak berada dalam vacuum melainkan harus melayani masyarakat tertentu[1]
Seiring dengan semakin berkembangnya era reformasi saat ini, terlebih setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka terjadi pula perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Joko Widodo mengemukakan bahwa paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami pergeseran dari rule government menjadi good governance, dan dari sebuah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi5.
Dalam    upaya    menjawab    berbagai    tuntutan    tersebut,    maka dilakukanlah   perubahan-perubahan   dalam   aspek   pemerintahan   guna mengoptimalkan  kinerja  pemerintah  di  dalam  masyarakat. Salah  satu perkembangan  atau  perubahan  mendasar, dilakukan  melalui  reformasi birokrasi  dalam  bidang  tata  kelola  pemerintahan  di  Indonesia.  Reformasi birokrasi merupakan sebuah agenda utama dalam era egalitarian saat ini yang  semakin  menegaskan  bahwa  Indonesia  merupakan  negara  hukum (rechtstaat) yang   mengamanatkan   bahwa   segala   sendi   kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilangsungkan dengan berasaskan pada ketentuan hukum, bukan atas dasar kekuasaan semata (machtsaat)
Meskipun demikian, di balik semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan berusaha mengefisienkan tataran birokrasi yang ada, termasuk dengan mengadopsi konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tetap belum sepenuhnya dapat memberi jaminan akan terlaksananya suatu tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan masih banyak ditemukan berbagai praktik penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang (bad governance) seperti; masih terjadi berbagai tindakan atau perbuatan korupsi, masih maraknya pungutan liar mudah terkena suap, penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya.
Penerapan   konsep   tata   kelola   pemerintahan   yang   baik (good governance) tanpa  disertai  dengan  upaya  peningkatan  kapasitas  dan kapabilitas  aparatur  penyelenggara  pemerintahan  tentunya  tidak  akan banyak  mengubah  wajah  penyelenggaraan pemerintahan  kita.  Dalam arti bahwa  harapan  masyarakat  akan  terlaksananya  peran  dan  fungsi  serta tugas   pemerintahan   secara   optimal   tetap   akan   jauh   dari   apa   yang seharusnya    dilakukan    sehingga    dapat    memenuhi    aspirasi    dan kepentingan serta kebutuhan warga masyarakat
Maka untuk menjawab problematika ketidakteraturan mengenai pengangkatan jabatan struktural tersebut, pemerintah berusaha menjabarkan pengaturannya melalui Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong di Instansi Pemerintah. Peraturan tersebut mengamanahkan bahwa pengangkatan jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan syarat berdasarkan peraturan pemerintah tersebut
Meskipun demikian, karena sifatnya yang masih belum lazim tersebut, metode atau mekanisme pengisian jabatan secara terbuka ini dalam penerapannya masih menuai berbagai kontroversi atau perdebatan mengingat dasar hukum yang ada dan berlaku saat ini dinilai belum memadai untuk melaksanakan mekanisme tersebut, sehingga dikhawatirkan akan menjadi kebijakan yang “cacat hukum‟ dan cenderung bersifat mengedepankan kekuasaan sebagai kepala daerah (machtstaat) semata. Dengan kata lain, permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana mekanisme dan keabsahan atau legitimasi dari sistem pengisian jabatan terbuka tersebut.
Tidak hanya itu, tidak adanya mekanisme baku mengenai sistem tersebut mengindikasikan bahwa efektifitas pelaksanaan sistem tersebut hanya akan bergantung pada kepemimpinan dari Kepala Daerah sedangkan aspek keabsahan nya juga diperdebatkan mengingat pelaksanaan sistem ini hanya didasarkan pada Surat Edaran KEMENPAN-RB yang apabila dikaji secara yuridis tidak memiliki koherensi dengan peraturan diatasnya atau tidak secara frontal berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mekanisme pengisian jabatan secara terbuka cenderung menimbulkan keambiguan terhadap peran dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang sebelumnya mengusulkan daftar calon pejabat kepada Walikota/Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Mekanisme yang ada saat ini tidak memiliki standardisasi yang relevan dalam menilai kapabilitas dan profesionalitas calon pejabat, melainkan hanya mengutamakan keterbukaan dibandingkan akuntabilitas. Hal tersebut merujuk pada mekanisme pengisian jabatan secara terbuka yang memperbolehkan adanya perubahan jabatan yang diemban dari kualifikasi dasar yang dimiliki pejabat bersangkutan. Tidak hanya itu, dari segi pendanaan pun, mekanisme ini cenderung kurang efisien dan berlebihan ketimbang apabila dilakukan pengisian jabatan yang dipilih secara sederhana atau melalui mekanisme pengangkatan langsung.
Pengisian jabatan secara terbuka ini juga pada akhirnya banyak mendapat kritikan dari masyarakat, karena banyak tujuan dari dibuatnya sistem lelang jabatan ini tidak tercapai. Salah satu tujuan dari sistem lelang jabatan ini adalah untuk mendapatkan pejabat yang mempunyai kompetensi dan memperkecil terjadinya korupsi di instansi pemerintahan. Tapi pada tahun 2013 lalu terdapat kasus penangkapan Lurah dan Bendahara Kelurahan Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Fanda Fadly Lubis dan Zaitul Akman terkait dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI sebesar Rp 450 juta. Dengan kasus itu masyarakat menganggap lelang jabatan tidak juga efektif untuk mencari pejabat yang bagus dan di percaya oleh masyarakat. Ada yang mengatakan sistem ini harus dihapuskan dan kembali saja kepada sistem sebelumnya.
Dari kontroversi diatas menyangkut pengisian secara terbuka yang masih menimbulkan pro dan kontra, maka dari itu penulis tertarik mengangkat judul penghapusan lelang jabatan.















PEMBAHASAN

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata “lelang” yaitu “penawaran secara terbuka di hadapan orang banyak yang dipimpin oleh pejabat lelang”. Secara etimologi, kata jabatan berasal dari kata dasar “jabat‟ yang ditambah imbuhan –an, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi yang berkenaan dengan pangkat dan kedudukan”[2].
Sebenarnya istilah lelang jabatan ini adalah istilah yang dipakai oleh pak jokowi dan ahok dalam melakukan seleksi pejabat pemerintahan secara terbuka. Dalam Undang-Undang ASN yang menjadi dasar seleksi secara terbuka ini tidak di kenal istilah lelang jabatan itu. Dalam Undang-Undang ASN hanya di kenal istilah promosi jabatan secara terbuka. Jadi, dalam tulisan ini penulis lebih menggunakan istilah promosi jabatan secara terbuka.
Secara teoritis, tata cara pengisian jabatan yang baik telah dikemukakan oleh Logemann berpendapat, bagian yang terbesar dari Hukum Negara (Staatsrecht) adalah peraturan-peraturan hukum yang menetapkan secara mengikat bagaimana akan terbentuknya organisasi negara itu. Peraturan-peraturan hukum itu menangani:
1.      Pembentukkan jabatan-jabatan dan susunannya
2.      Penunjukan para pejabat.
3.      Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas, yang terikat pada jabatan.
4.      Wibawa, wewenang-wewenang hukum, yang terikat pada jabatan.
5.      Lingkungan daerah dan lingkaran personil, atas mana tugas dan jabatan itu meliputinya.
6.      Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain.
7.      Peralihan jabatan.
8.      Hubungan antara jabatan dan pejabat.
Logemann menunjukkan pentingnya perhubungan antara negara sebagai organisasi dengan pengisian jabatan, oleh karena itu teorinya disebut Teori Jabatan. Sedangkan pengertian jabatan dirumuskan dalam frasa jabatan negeri, yang diartikan sebagai jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan[3].
Pengisian Jabatan
Pada dasarnya setiap pegawai mempunyai jabatan karena mereka direkrut berdasarkan kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi. Prinsip penempatan menurut A.W. Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.      Adanya analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.
2.      Adanya Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi kerja, dan lain-lain dari masing-masing pegawai[4].
Pengisian    jabatan    negara    dapat    dilakukan    dengan    metode pemilihan  dan/atau pengangkatan  pejabat  negara  secara  perorangan maupun  berkelompok dengan  lembaga  di  tempat  mereka  bertugas,  baik dalam   lembaga   negara   maupun   lembaga   pemerintahan,   baik   pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah[5]. Dari keduanya, baik dengan cara pemilihan ataupun dengan cara pengangkatan sudah pernah dilakukan di Indonesia.
Pada dasarnya, pengisian jabatan dalam pemerintahan berkaitan erat dengan hak setiap orang, yang merupakan pengejawantahan dari hak politik sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus diakui dan dilindungi oleh negara. Demikian halnya Indonesia, yang mengatur hak tersebut secara mendasar dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hal ini berarti negara sebagai organisasi tertinggi harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk mengisi jabatan struktural yang sedang di promosi secara terbuka.
secara  sistematis  telah  dijabarkan dalam  Undang-Undang No 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang  No.43  Tahun  1999  Tentang  Perubahan Undang-Undang   Nomor   8   tahun   1974   tentang   Pokok-Pokok   Kepegawaian; Peraturan     Pemerintah     No.9     Tahun     2003     Tentang     Wewenang Pengangkatan,   Pemindahan,   Pemberhentian   Pegawai   Negeri   Sipil; Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002  Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil     Dalam     Jabatan     Struktural; Surat     Edaran     Kementerian Pendayagunaan  Aparatur  Negara  dan  Reformasi  Birokrasi  No.  16  Tahun 2012  Tentang  Tata  Cara  Pengisian  Jabatan  Struktural  Yang  Lowong  di Instansi Pemerintah.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Lelang Jabatan
Dalam sebuah sistem tentu tidak ada yang bagus semuanya dan tidak ada pula yang jelek semuanya, semua nya mempunyai Kelebihan dan Kekurangan. Berikut ini akan dijelaskan kelebihan dan kekurangan sistem lelang jabatan.
Kelebihan Sistem Lelang Jabatan
1.      Menghilangkan model pemegang kekuasaan berdasarkan rasa dan kasta.
Inilah yang menjadi masalah klasik bangsa ini baik dari tingkat paling tinggi sampai ke tingkat yang paling rendah. Misalkan saja sistem birokrasi yang mana tidak boleh seorangpun meneruskan kursi kekuasaan selain dari keturunan, keluarga dan kerabat dekat pemimpin yang sedang berkuasa sekarang. Hal ini tentu saja tidak efektif, karena akan menekan peluang orang yang tidak berada dalam lingkaran kekerabatan pemimpin untuk memegang kuasa padahal belum tentu kerabat, saudara mereka lebih mampu dari orang lain.
2.      Kepemimpinan yang transparan.
Tidak asing lagi sebuah tradisi sogok menyogok di Negara ini menjadi sebuah budaya dan ladang penghasil rupiah yang menggiurkan. Misalkan saja Tes CPNS yang masih dihantui dengan acara sogok menyogok. Mungkin, konsep lelang jabatan menjadi salah satu angin segar dalam menjawab masalah ini, karena konsep ini jauh berbeda dengan sistem tes penerimaan calon pegawai negeri sipil.
3.      Bisa mendapatkan pemimpin yang berintegritas, berkompetensi, yang memang sesuai bidangnya masing-masing
4.      Memberikan kesempatan yang sama bagi PNS yang ingin mendaftar, asalkan syarat-syaratnya sudah lengkap. Hal ini sesuai dengan pasal 28D UUD 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.


Kekurangan Lelang jabatan
1.      Merusak kaderisasi yang ada dalam instansi pemerintahan tersebut.
Dalam sebuah instansi tentu ada pola kaderisasi siapa yang memang bagus untuk memimpin dalam organisasi tersebut, yang sudah paham dengan kondisi di instansi itu, tapi dengan adanya sistem lelang jabatan seperti itu maka pola kaderisasi dalam instansi itu akan hancur.
2.      Tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
Sekalipun sistem lelang jabatan itu dilakukan secara transparan, itu juga tidak bisa menjamin akan mendapatkan hasil yang bagus. Contohnya di DKI Jakarta masih ada lurah hasil lelang jabatan yang korupsi.
3.      Pemimpin yang dihasilkan belum tentu yang diharapkan oleh masyarakat atau orang yang ada di instansi tersebut. Sebagai contoh di DKI Jakarta Lurah hasil lelang jabatan beragama non muslim, sedangkan masyarakatnya mayoritas muslim. Ini akan menjadi masalah ketika masyarakatnya tidak menerima lurah tersebut. Dan ini juga akan berdampak pada kinerja pemimpin itu sendiri.
4.      Tidak menjadi jaminan juga dengan sistem lelang jabatan pemimpin yang dihasilkan akan adalah pemimpin hasil seleksi, karena tidak menutup kemungkinan akan ada juga nepotisme dengan pemimpin di daerah tersebut, atau juga dengan panitia seleksi.












Kesimpulan
Promosi jabatan secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang jabatan adalah salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh dari good governance. Tapi sistem lelang jabatan yang ada sekarang terdapat banyak kelemahan dalam proses dan hasilnya. Sehingga tidak semua pejabat yang dihasilkan itu sesuai dengan harapan masyarakat. Ada yang tidak di terima kehadirannya oleh masyarakat, ada juga yang terbukti korupsi. Sehingga banyak masyarakat yang mengatakan kalau sistem lelang jabatan ini harus dihapuskan dan di kembalikan saja prosesnya sesuai dengan jenjang karir. Promosi jabatan secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang jabatan adalah salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh dari good governance.
Saran
Dihapus atau tidak sistem lelang jabatan ini, yang terpenting adalah pejabat yang sudah ada harus selalu ada yang mengontrol kinerjanya. Apabila kinerjanya dirasakan jauh dari standar dan karakter kepemimpinannya juga dirasakan kurang oleh bawahannya, maka harus ada sanksi untuk nya.
















DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945, Jakarta, 2008
Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga,  Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Sri Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta, 2010.
C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta, 2005





[1] Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945 (Jakarta, 2008) Hal. 19

[2] Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka,2003)

[3] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
[4] Sri Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta, 2010), 97.

[5] C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. (Jakarta, 2005) Hal. 222

PENGHAPUSAN LELANG JABATAN

PENGHAPUSAN LELANG JABATAN
Negara merupakan kesatuan organisasi jabatan-jabatan (ambtenorganisatie) yang menjalankan fungsinya berdasarkan tataran organ yang disusun sedemikian sistematisnya agar mampu mencapai tujuan negara secara kolektif dan berkesinambungan. Pencapaian tujuan tersebut diwujudkan melalui tindakan pemerintah yang merupakan penggerak nyata dari negara dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya
Tidak bisa dipungkiri, semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini juga mendorong semakin berkembangnya tindakan pemerintah yang mampu mewadahi berbagai kompleksitas tersebut. Hal inilah yang diamini oleh Satjipto Rahardjo yang mengungkapkan bahwa hukum tidak berada dalam vacuum melainkan harus melayani masyarakat tertentu[1]
Seiring dengan semakin berkembangnya era reformasi saat ini, terlebih setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka terjadi pula perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Joko Widodo mengemukakan bahwa paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami pergeseran dari rule government menjadi good governance, dan dari sebuah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi5.
Dalam    upaya    menjawab    berbagai    tuntutan    tersebut,    maka dilakukanlah   perubahan-perubahan   dalam   aspek   pemerintahan   guna mengoptimalkan  kinerja  pemerintah  di  dalam  masyarakat. Salah  satu perkembangan  atau  perubahan  mendasar, dilakukan  melalui  reformasi birokrasi  dalam  bidang  tata  kelola  pemerintahan  di  Indonesia.  Reformasi birokrasi merupakan sebuah agenda utama dalam era egalitarian saat ini yang  semakin  menegaskan  bahwa  Indonesia  merupakan  negara  hukum (rechtstaat) yang   mengamanatkan   bahwa   segala   sendi   kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilangsungkan dengan berasaskan pada ketentuan hukum, bukan atas dasar kekuasaan semata (machtsaat)
Meskipun demikian, di balik semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan berusaha mengefisienkan tataran birokrasi yang ada, termasuk dengan mengadopsi konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tetap belum sepenuhnya dapat memberi jaminan akan terlaksananya suatu tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan masih banyak ditemukan berbagai praktik penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang (bad governance) seperti; masih terjadi berbagai tindakan atau perbuatan korupsi, masih maraknya pungutan liar mudah terkena suap, penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya.
Penerapan   konsep   tata   kelola   pemerintahan   yang   baik (good governance) tanpa  disertai  dengan  upaya  peningkatan  kapasitas  dan kapabilitas  aparatur  penyelenggara  pemerintahan  tentunya  tidak  akan banyak  mengubah  wajah  penyelenggaraan pemerintahan  kita.  Dalam arti bahwa  harapan  masyarakat  akan  terlaksananya  peran  dan  fungsi  serta tugas   pemerintahan   secara   optimal   tetap   akan   jauh   dari   apa   yang seharusnya    dilakukan    sehingga    dapat    memenuhi    aspirasi    dan kepentingan serta kebutuhan warga masyarakat
Maka untuk menjawab problematika ketidakteraturan mengenai pengangkatan jabatan struktural tersebut, pemerintah berusaha menjabarkan pengaturannya melalui Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong di Instansi Pemerintah. Peraturan tersebut mengamanahkan bahwa pengangkatan jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan syarat berdasarkan peraturan pemerintah tersebut
Meskipun demikian, karena sifatnya yang masih belum lazim tersebut, metode atau mekanisme pengisian jabatan secara terbuka ini dalam penerapannya masih menuai berbagai kontroversi atau perdebatan mengingat dasar hukum yang ada dan berlaku saat ini dinilai belum memadai untuk melaksanakan mekanisme tersebut, sehingga dikhawatirkan akan menjadi kebijakan yang “cacat hukum‟ dan cenderung bersifat mengedepankan kekuasaan sebagai kepala daerah (machtstaat) semata. Dengan kata lain, permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana mekanisme dan keabsahan atau legitimasi dari sistem pengisian jabatan terbuka tersebut.
Tidak hanya itu, tidak adanya mekanisme baku mengenai sistem tersebut mengindikasikan bahwa efektifitas pelaksanaan sistem tersebut hanya akan bergantung pada kepemimpinan dari Kepala Daerah sedangkan aspek keabsahan nya juga diperdebatkan mengingat pelaksanaan sistem ini hanya didasarkan pada Surat Edaran KEMENPAN-RB yang apabila dikaji secara yuridis tidak memiliki koherensi dengan peraturan diatasnya atau tidak secara frontal berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mekanisme pengisian jabatan secara terbuka cenderung menimbulkan keambiguan terhadap peran dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang sebelumnya mengusulkan daftar calon pejabat kepada Walikota/Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Mekanisme yang ada saat ini tidak memiliki standardisasi yang relevan dalam menilai kapabilitas dan profesionalitas calon pejabat, melainkan hanya mengutamakan keterbukaan dibandingkan akuntabilitas. Hal tersebut merujuk pada mekanisme pengisian jabatan secara terbuka yang memperbolehkan adanya perubahan jabatan yang diemban dari kualifikasi dasar yang dimiliki pejabat bersangkutan. Tidak hanya itu, dari segi pendanaan pun, mekanisme ini cenderung kurang efisien dan berlebihan ketimbang apabila dilakukan pengisian jabatan yang dipilih secara sederhana atau melalui mekanisme pengangkatan langsung.
Pengisian jabatan secara terbuka ini juga pada akhirnya banyak mendapat kritikan dari masyarakat, karena banyak tujuan dari dibuatnya sistem lelang jabatan ini tidak tercapai. Salah satu tujuan dari sistem lelang jabatan ini adalah untuk mendapatkan pejabat yang mempunyai kompetensi dan memperkecil terjadinya korupsi di instansi pemerintahan. Tapi pada tahun 2013 lalu terdapat kasus penangkapan Lurah dan Bendahara Kelurahan Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Fanda Fadly Lubis dan Zaitul Akman terkait dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI sebesar Rp 450 juta. Dengan kasus itu masyarakat menganggap lelang jabatan tidak juga efektif untuk mencari pejabat yang bagus dan di percaya oleh masyarakat. Ada yang mengatakan sistem ini harus dihapuskan dan kembali saja kepada sistem sebelumnya.
Dari kontroversi diatas menyangkut pengisian secara terbuka yang masih menimbulkan pro dan kontra, maka dari itu penulis tertarik mengangkat judul penghapusan lelang jabatan.















PEMBAHASAN

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata “lelang” yaitu “penawaran secara terbuka di hadapan orang banyak yang dipimpin oleh pejabat lelang”. Secara etimologi, kata jabatan berasal dari kata dasar “jabat‟ yang ditambah imbuhan –an, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi yang berkenaan dengan pangkat dan kedudukan”[2].
Sebenarnya istilah lelang jabatan ini adalah istilah yang dipakai oleh pak jokowi dan ahok dalam melakukan seleksi pejabat pemerintahan secara terbuka. Dalam Undang-Undang ASN yang menjadi dasar seleksi secara terbuka ini tidak di kenal istilah lelang jabatan itu. Dalam Undang-Undang ASN hanya di kenal istilah promosi jabatan secara terbuka. Jadi, dalam tulisan ini penulis lebih menggunakan istilah promosi jabatan secara terbuka.
Secara teoritis, tata cara pengisian jabatan yang baik telah dikemukakan oleh Logemann berpendapat, bagian yang terbesar dari Hukum Negara (Staatsrecht) adalah peraturan-peraturan hukum yang menetapkan secara mengikat bagaimana akan terbentuknya organisasi negara itu. Peraturan-peraturan hukum itu menangani:
1.      Pembentukkan jabatan-jabatan dan susunannya
2.      Penunjukan para pejabat.
3.      Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas, yang terikat pada jabatan.
4.      Wibawa, wewenang-wewenang hukum, yang terikat pada jabatan.
5.      Lingkungan daerah dan lingkaran personil, atas mana tugas dan jabatan itu meliputinya.
6.      Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain.
7.      Peralihan jabatan.
8.      Hubungan antara jabatan dan pejabat.
Logemann menunjukkan pentingnya perhubungan antara negara sebagai organisasi dengan pengisian jabatan, oleh karena itu teorinya disebut Teori Jabatan. Sedangkan pengertian jabatan dirumuskan dalam frasa jabatan negeri, yang diartikan sebagai jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan[3].
Pengisian Jabatan
Pada dasarnya setiap pegawai mempunyai jabatan karena mereka direkrut berdasarkan kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi. Prinsip penempatan menurut A.W. Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.      Adanya analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.
2.      Adanya Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi kerja, dan lain-lain dari masing-masing pegawai[4].
Pengisian    jabatan    negara    dapat    dilakukan    dengan    metode pemilihan  dan/atau pengangkatan  pejabat  negara  secara  perorangan maupun  berkelompok dengan  lembaga  di  tempat  mereka  bertugas,  baik dalam   lembaga   negara   maupun   lembaga   pemerintahan,   baik   pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah[5]. Dari keduanya, baik dengan cara pemilihan ataupun dengan cara pengangkatan sudah pernah dilakukan di Indonesia.
Pada dasarnya, pengisian jabatan dalam pemerintahan berkaitan erat dengan hak setiap orang, yang merupakan pengejawantahan dari hak politik sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus diakui dan dilindungi oleh negara. Demikian halnya Indonesia, yang mengatur hak tersebut secara mendasar dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hal ini berarti negara sebagai organisasi tertinggi harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk mengisi jabatan struktural yang sedang di promosi secara terbuka.
secara  sistematis  telah  dijabarkan dalam  Undang-Undang No 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang  No.43  Tahun  1999  Tentang  Perubahan Undang-Undang   Nomor   8   tahun   1974   tentang   Pokok-Pokok   Kepegawaian; Peraturan     Pemerintah     No.9     Tahun     2003     Tentang     Wewenang Pengangkatan,   Pemindahan,   Pemberhentian   Pegawai   Negeri   Sipil; Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002  Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil     Dalam     Jabatan     Struktural; Surat     Edaran     Kementerian Pendayagunaan  Aparatur  Negara  dan  Reformasi  Birokrasi  No.  16  Tahun 2012  Tentang  Tata  Cara  Pengisian  Jabatan  Struktural  Yang  Lowong  di Instansi Pemerintah.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Lelang Jabatan
Dalam sebuah sistem tentu tidak ada yang bagus semuanya dan tidak ada pula yang jelek semuanya, semua nya mempunyai Kelebihan dan Kekurangan. Berikut ini akan dijelaskan kelebihan dan kekurangan sistem lelang jabatan.
Kelebihan Sistem Lelang Jabatan
1.      Menghilangkan model pemegang kekuasaan berdasarkan rasa dan kasta.
Inilah yang menjadi masalah klasik bangsa ini baik dari tingkat paling tinggi sampai ke tingkat yang paling rendah. Misalkan saja sistem birokrasi yang mana tidak boleh seorangpun meneruskan kursi kekuasaan selain dari keturunan, keluarga dan kerabat dekat pemimpin yang sedang berkuasa sekarang. Hal ini tentu saja tidak efektif, karena akan menekan peluang orang yang tidak berada dalam lingkaran kekerabatan pemimpin untuk memegang kuasa padahal belum tentu kerabat, saudara mereka lebih mampu dari orang lain.
2.      Kepemimpinan yang transparan.
Tidak asing lagi sebuah tradisi sogok menyogok di Negara ini menjadi sebuah budaya dan ladang penghasil rupiah yang menggiurkan. Misalkan saja Tes CPNS yang masih dihantui dengan acara sogok menyogok. Mungkin, konsep lelang jabatan menjadi salah satu angin segar dalam menjawab masalah ini, karena konsep ini jauh berbeda dengan sistem tes penerimaan calon pegawai negeri sipil.
3.      Bisa mendapatkan pemimpin yang berintegritas, berkompetensi, yang memang sesuai bidangnya masing-masing
4.      Memberikan kesempatan yang sama bagi PNS yang ingin mendaftar, asalkan syarat-syaratnya sudah lengkap. Hal ini sesuai dengan pasal 28D UUD 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.


Kekurangan Lelang jabatan
1.      Merusak kaderisasi yang ada dalam instansi pemerintahan tersebut.
Dalam sebuah instansi tentu ada pola kaderisasi siapa yang memang bagus untuk memimpin dalam organisasi tersebut, yang sudah paham dengan kondisi di instansi itu, tapi dengan adanya sistem lelang jabatan seperti itu maka pola kaderisasi dalam instansi itu akan hancur.
2.      Tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
Sekalipun sistem lelang jabatan itu dilakukan secara transparan, itu juga tidak bisa menjamin akan mendapatkan hasil yang bagus. Contohnya di DKI Jakarta masih ada lurah hasil lelang jabatan yang korupsi.
3.      Pemimpin yang dihasilkan belum tentu yang diharapkan oleh masyarakat atau orang yang ada di instansi tersebut. Sebagai contoh di DKI Jakarta Lurah hasil lelang jabatan beragama non muslim, sedangkan masyarakatnya mayoritas muslim. Ini akan menjadi masalah ketika masyarakatnya tidak menerima lurah tersebut. Dan ini juga akan berdampak pada kinerja pemimpin itu sendiri.
4.      Tidak menjadi jaminan juga dengan sistem lelang jabatan pemimpin yang dihasilkan akan adalah pemimpin hasil seleksi, karena tidak menutup kemungkinan akan ada juga nepotisme dengan pemimpin di daerah tersebut, atau juga dengan panitia seleksi.












Kesimpulan
Promosi jabatan secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang jabatan adalah salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh dari good governance. Tapi sistem lelang jabatan yang ada sekarang terdapat banyak kelemahan dalam proses dan hasilnya. Sehingga tidak semua pejabat yang dihasilkan itu sesuai dengan harapan masyarakat. Ada yang tidak di terima kehadirannya oleh masyarakat, ada juga yang terbukti korupsi. Sehingga banyak masyarakat yang mengatakan kalau sistem lelang jabatan ini harus dihapuskan dan di kembalikan saja prosesnya sesuai dengan jenjang karir. Promosi jabatan secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang jabatan adalah salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh dari good governance.
Saran
Dihapus atau tidak sistem lelang jabatan ini, yang terpenting adalah pejabat yang sudah ada harus selalu ada yang mengontrol kinerjanya. Apabila kinerjanya dirasakan jauh dari standar dan karakter kepemimpinannya juga dirasakan kurang oleh bawahannya, maka harus ada sanksi untuk nya.
















DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945, Jakarta, 2008
Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga,  Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Sri Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta, 2010.
C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta, 2005





[1] Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945 (Jakarta, 2008) Hal. 19

[2] Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka,2003)

[3] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
[4] Sri Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta, 2010), 97.

[5] C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. (Jakarta, 2005) Hal. 222