PENGHAPUSAN LELANG JABATAN
Negara merupakan kesatuan organisasi
jabatan-jabatan (ambtenorganisatie) yang menjalankan fungsinya berdasarkan
tataran organ yang disusun sedemikian sistematisnya agar mampu mencapai tujuan
negara secara kolektif dan berkesinambungan. Pencapaian tujuan tersebut
diwujudkan melalui tindakan pemerintah yang merupakan penggerak nyata dari
negara dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya
Tidak bisa dipungkiri, semakin
kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini juga mendorong semakin berkembangnya
tindakan pemerintah yang mampu mewadahi berbagai kompleksitas tersebut. Hal
inilah yang diamini oleh Satjipto Rahardjo yang mengungkapkan bahwa hukum tidak
berada dalam vacuum melainkan harus melayani masyarakat tertentu[1]
Seiring dengan semakin berkembangnya
era reformasi saat ini, terlebih setelah empat kali perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka terjadi pula perubahan
mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Joko Widodo
mengemukakan bahwa paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami
pergeseran dari rule government menjadi good governance, dan dari sebuah sistem
sentralisasi menjadi desentralisasi5.
Dalam upaya
menjawab berbagai tuntutan
tersebut, maka
dilakukanlah perubahan-perubahan dalam
aspek pemerintahan guna mengoptimalkan kinerja
pemerintah di dalam
masyarakat. Salah satu
perkembangan atau perubahan
mendasar, dilakukan melalui reformasi birokrasi dalam
bidang tata kelola
pemerintahan di Indonesia.
Reformasi birokrasi merupakan sebuah agenda utama dalam era egalitarian
saat ini yang semakin menegaskan
bahwa Indonesia merupakan
negara hukum (rechtstaat)
yang mengamanatkan bahwa
segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dilangsungkan dengan berasaskan pada ketentuan hukum, bukan atas dasar kekuasaan
semata (machtsaat)
Meskipun demikian, di
balik semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan berusaha mengefisienkan
tataran birokrasi yang ada, termasuk dengan mengadopsi konsep tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) tetap belum sepenuhnya dapat memberi
jaminan akan terlaksananya suatu tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan
masih banyak ditemukan berbagai praktik penyelenggaraan pemerintahan yang
menyimpang (bad governance) seperti; masih terjadi berbagai tindakan atau
perbuatan korupsi, masih maraknya pungutan liar mudah terkena suap,
penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya.
Penerapan konsep
tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) tanpa
disertai dengan upaya
peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparatur
penyelenggara pemerintahan tentunya
tidak akan banyak mengubah
wajah penyelenggaraan
pemerintahan kita. Dalam arti bahwa harapan
masyarakat akan terlaksananya
peran dan fungsi
serta tugas pemerintahan secara
optimal tetap akan
jauh dari apa
yang seharusnya dilakukan sehingga
dapat memenuhi aspirasi
dan kepentingan serta kebutuhan warga masyarakat
Maka untuk menjawab
problematika ketidakteraturan mengenai pengangkatan jabatan struktural
tersebut, pemerintah berusaha menjabarkan pengaturannya melalui Surat Edaran
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB)
No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong di
Instansi Pemerintah. Peraturan tersebut mengamanahkan bahwa pengangkatan
jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan syarat berdasarkan
peraturan pemerintah tersebut
Meskipun demikian,
karena sifatnya yang masih belum lazim tersebut, metode atau mekanisme pengisian
jabatan secara terbuka ini dalam penerapannya masih menuai berbagai kontroversi
atau perdebatan mengingat dasar hukum yang ada dan berlaku saat ini dinilai
belum memadai untuk melaksanakan mekanisme tersebut, sehingga dikhawatirkan
akan menjadi kebijakan yang “cacat hukum‟ dan cenderung bersifat mengedepankan
kekuasaan sebagai kepala daerah (machtstaat) semata. Dengan kata lain,
permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana mekanisme dan keabsahan atau
legitimasi dari sistem pengisian jabatan terbuka tersebut.
Tidak hanya itu, tidak
adanya mekanisme baku mengenai sistem tersebut mengindikasikan bahwa
efektifitas pelaksanaan sistem tersebut hanya akan bergantung pada kepemimpinan
dari Kepala Daerah sedangkan aspek keabsahan nya juga diperdebatkan mengingat
pelaksanaan sistem ini hanya didasarkan pada Surat Edaran KEMENPAN-RB yang
apabila dikaji secara yuridis tidak memiliki koherensi dengan peraturan
diatasnya atau tidak secara frontal berkesesuaian dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain itu, mekanisme
pengisian jabatan secara terbuka cenderung menimbulkan keambiguan terhadap
peran dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang
sebelumnya mengusulkan daftar calon pejabat kepada Walikota/Bupati sebagai
Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Mekanisme yang ada saat ini tidak memiliki
standardisasi yang relevan dalam menilai kapabilitas dan profesionalitas calon
pejabat, melainkan hanya mengutamakan keterbukaan dibandingkan akuntabilitas.
Hal tersebut merujuk pada mekanisme pengisian jabatan secara terbuka yang
memperbolehkan adanya perubahan jabatan yang diemban dari kualifikasi dasar
yang dimiliki pejabat bersangkutan. Tidak hanya itu, dari segi pendanaan pun,
mekanisme ini cenderung kurang efisien dan berlebihan ketimbang apabila
dilakukan pengisian jabatan yang dipilih secara sederhana atau melalui
mekanisme pengangkatan langsung.
Pengisian jabatan secara terbuka ini
juga pada akhirnya banyak mendapat kritikan dari masyarakat, karena banyak
tujuan dari dibuatnya sistem lelang jabatan ini tidak tercapai. Salah satu
tujuan dari sistem lelang jabatan ini adalah untuk mendapatkan pejabat yang
mempunyai kompetensi dan memperkecil terjadinya korupsi di instansi
pemerintahan. Tapi pada tahun 2013 lalu terdapat kasus penangkapan Lurah dan
Bendahara Kelurahan Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Fanda Fadly Lubis
dan Zaitul Akman terkait dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) DKI sebesar Rp 450 juta. Dengan kasus itu masyarakat
menganggap lelang jabatan tidak juga efektif untuk mencari pejabat yang bagus
dan di percaya oleh masyarakat. Ada yang mengatakan sistem ini harus dihapuskan
dan kembali saja kepada sistem sebelumnya.
Dari kontroversi diatas menyangkut
pengisian secara terbuka yang masih menimbulkan pro dan kontra, maka dari itu
penulis tertarik mengangkat judul penghapusan lelang jabatan.
PEMBAHASAN
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
kata “lelang” yaitu “penawaran secara terbuka di hadapan orang banyak yang
dipimpin oleh pejabat lelang”. Secara etimologi, kata jabatan berasal dari kata
dasar “jabat‟ yang ditambah imbuhan –an, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai “pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi yang
berkenaan dengan pangkat dan kedudukan”[2].
Sebenarnya istilah lelang jabatan
ini adalah istilah yang dipakai oleh pak jokowi dan ahok dalam melakukan
seleksi pejabat pemerintahan secara terbuka. Dalam Undang-Undang ASN yang
menjadi dasar seleksi secara terbuka ini tidak di kenal istilah lelang jabatan
itu. Dalam Undang-Undang ASN hanya di kenal istilah promosi jabatan secara
terbuka. Jadi, dalam tulisan ini penulis lebih menggunakan istilah promosi jabatan
secara terbuka.
Secara teoritis, tata cara pengisian
jabatan yang baik telah dikemukakan oleh Logemann berpendapat, bagian yang
terbesar dari Hukum Negara (Staatsrecht) adalah peraturan-peraturan hukum yang
menetapkan secara mengikat bagaimana akan terbentuknya organisasi negara itu.
Peraturan-peraturan hukum itu menangani:
1. Pembentukkan
jabatan-jabatan dan susunannya
2. Penunjukan
para pejabat.
3. Kewajiban-kewajiban,
tugas-tugas, yang terikat pada jabatan.
4. Wibawa,
wewenang-wewenang hukum, yang terikat pada jabatan.
5. Lingkungan
daerah dan lingkaran personil, atas mana tugas dan jabatan itu meliputinya.
6. Hubungan
wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain.
7. Peralihan
jabatan.
8. Hubungan
antara jabatan dan pejabat.
Logemann menunjukkan pentingnya
perhubungan antara negara sebagai organisasi dengan pengisian jabatan, oleh
karena itu teorinya disebut Teori Jabatan. Sedangkan pengertian jabatan
dirumuskan dalam frasa jabatan negeri, yang diartikan sebagai jabatan dalam
bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi negara,
dan kepaniteraan pengadilan[3].
Pengisian
Jabatan
Pada dasarnya setiap pegawai
mempunyai jabatan karena mereka direkrut berdasarkan kebutuhan untuk
melaksanakan tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi. Prinsip penempatan
menurut A.W. Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang
yang tepat pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan
baik, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Adanya
analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis yang
menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan
sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang
akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.
2. Adanya
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari masing-masing pegawai
yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian
pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi
kerja, dan lain-lain dari masing-masing pegawai[4].
Pengisian jabatan
negara dapat dilakukan
dengan metode pemilihan dan/atau pengangkatan pejabat
negara secara perorangan maupun berkelompok dengan lembaga
di tempat mereka
bertugas, baik dalam lembaga
negara maupun lembaga
pemerintahan, baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah[5].
Dari keduanya, baik dengan cara pemilihan ataupun dengan cara pengangkatan
sudah pernah dilakukan di Indonesia.
Pada dasarnya, pengisian jabatan
dalam pemerintahan berkaitan erat dengan hak setiap orang, yang merupakan
pengejawantahan dari hak politik sebagai bagian dari hak asasi manusia yang
harus diakui dan dilindungi oleh negara. Demikian halnya Indonesia, yang
mengatur hak tersebut secara mendasar dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara jelas mengamanatkan bahwa
setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk turut serta dalam
pemerintahan. Hal ini berarti negara sebagai organisasi tertinggi harus memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk mengisi jabatan
struktural yang sedang di promosi secara terbuka.
secara sistematis
telah dijabarkan dalam Undang-Undang No 5 tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang
No.43 Tahun 1999
Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
8 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 2003 Tentang
Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil; Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 2002 Tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural; Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi
Birokrasi No. 16
Tahun 2012 Tentang Tata
Cara Pengisian Jabatan
Struktural Yang Lowong
di Instansi Pemerintah.
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Lelang Jabatan
Dalam sebuah sistem tentu tidak ada
yang bagus semuanya dan tidak ada pula yang jelek semuanya, semua nya mempunyai
Kelebihan dan Kekurangan. Berikut ini akan dijelaskan kelebihan dan kekurangan
sistem lelang jabatan.
Kelebihan
Sistem Lelang Jabatan
1. Menghilangkan
model pemegang kekuasaan berdasarkan rasa dan kasta.
Inilah yang
menjadi masalah klasik bangsa ini baik dari tingkat paling tinggi sampai ke
tingkat yang paling rendah. Misalkan saja sistem birokrasi yang mana tidak
boleh seorangpun meneruskan kursi kekuasaan selain dari keturunan, keluarga dan
kerabat dekat pemimpin yang sedang berkuasa sekarang. Hal ini tentu saja tidak
efektif, karena akan menekan peluang orang yang tidak berada dalam lingkaran
kekerabatan pemimpin untuk memegang kuasa padahal belum tentu kerabat, saudara
mereka lebih mampu dari orang lain.
2. Kepemimpinan
yang transparan.
Tidak asing
lagi sebuah tradisi sogok menyogok di Negara ini menjadi sebuah budaya dan
ladang penghasil rupiah yang menggiurkan. Misalkan saja Tes CPNS yang masih
dihantui dengan acara sogok menyogok. Mungkin, konsep lelang jabatan menjadi
salah satu angin segar dalam menjawab masalah ini, karena konsep ini jauh
berbeda dengan sistem tes penerimaan calon pegawai negeri sipil.
3. Bisa
mendapatkan pemimpin yang berintegritas, berkompetensi, yang memang sesuai
bidangnya masing-masing
4. Memberikan
kesempatan yang sama bagi PNS yang ingin mendaftar, asalkan syarat-syaratnya
sudah lengkap. Hal ini sesuai dengan pasal 28D UUD 1945, bahwa setiap warga
negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Kekurangan Lelang jabatan
1. Merusak
kaderisasi yang ada dalam instansi pemerintahan tersebut.
Dalam sebuah
instansi tentu ada pola kaderisasi siapa yang memang bagus untuk memimpin dalam
organisasi tersebut, yang sudah paham dengan kondisi di instansi itu, tapi
dengan adanya sistem lelang jabatan seperti itu maka pola kaderisasi dalam
instansi itu akan hancur.
2. Tidak
menjamin akan menghasilkan pemimpin yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
Sekalipun
sistem lelang jabatan itu dilakukan secara transparan, itu juga tidak bisa
menjamin akan mendapatkan hasil yang bagus. Contohnya di DKI Jakarta masih ada
lurah hasil lelang jabatan yang korupsi.
3. Pemimpin
yang dihasilkan belum tentu yang diharapkan oleh masyarakat atau orang yang ada
di instansi tersebut. Sebagai contoh di DKI Jakarta Lurah hasil lelang jabatan
beragama non muslim, sedangkan masyarakatnya mayoritas muslim. Ini akan menjadi
masalah ketika masyarakatnya tidak menerima lurah tersebut. Dan ini juga akan
berdampak pada kinerja pemimpin itu sendiri.
4. Tidak
menjadi jaminan juga dengan sistem lelang jabatan pemimpin yang dihasilkan akan
adalah pemimpin hasil seleksi, karena tidak menutup kemungkinan akan ada juga
nepotisme dengan pemimpin di daerah tersebut, atau juga dengan panitia seleksi.
Kesimpulan
Promosi
jabatan secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang
jabatan adalah salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh
dari good governance. Tapi sistem lelang jabatan yang ada sekarang terdapat
banyak kelemahan dalam proses dan hasilnya. Sehingga tidak semua pejabat yang
dihasilkan itu sesuai dengan harapan masyarakat. Ada yang tidak di terima
kehadirannya oleh masyarakat, ada juga yang terbukti korupsi. Sehingga banyak
masyarakat yang mengatakan kalau sistem lelang jabatan ini harus dihapuskan dan
di kembalikan saja prosesnya sesuai dengan jenjang karir. Promosi jabatan
secara terbuka atau yang sering kita kenal dengan istilah lelang jabatan adalah
salah satu cara untuk memperbaiki birokrasi yang sebelumnya jauh dari good
governance.
Saran
Dihapus
atau tidak sistem lelang jabatan ini, yang terpenting adalah pejabat yang sudah
ada harus selalu ada yang mengontrol kinerjanya. Apabila kinerjanya dirasakan
jauh dari standar dan karakter kepemimpinannya juga dirasakan kurang oleh
bawahannya, maka harus ada sanksi untuk nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945, Jakarta,
2008
Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Sri Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta,
2010.
C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta,
2005
[1] Moh. Mahfud MD, Amanademen Kelima UUD 1945 (Jakarta,
2008) Hal. 19
[2] Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga,
(Jakarta : Balai Pustaka,2003)
[3] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
[4] Sri
Hartini, dkk. Hukum Kepegawaian di
Indonesia, (Jakarta, 2010), 97.
[5]
C.S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan
Indonesia. (Jakarta, 2005) Hal. 222